Sepatu Terakhir dari Kak Bulan

Namaku Rara. Sejak Mama dan Papa meninggal, hanya ada satu orang yang selalu ada untukku yaitu kak Bulan. Kami hidup sederhana, tapi aku tak pernah merasa kurang. Kecuali satu hal, yaitu sepatu sekolahku yang sudah usang dan hampir tak layak pakai.

Suatu malam, saat kami makan malam, aku berkata, "Kak, aku pengen sepatu baru. Tapi aku tau kita susah, jadi aku bisa nunggu kok…"

Kak Bulan tersenyum, "Pas ulang tahun kamu, Kakak janji beliin ya" ucapnya sambil mengusap kepalaku.

Malam itu aku mengikuti kak Bulan ke kamarnya tanpa sepengetahuannya. Aku mematung melihatnya menangis sambil menatap foto Mama dan Papa. "Ma, Pa... bentar lagi Rara 15 tahun. Masih inget nggak waktu dia kecil?" bisik kak Bulan, Hatiku ikut sakit.

"Aku nggak mau bikin Kakak susah" kataku tiba-tiba. Kak Bulan menoleh, lalu memelukku erat. "Nggak, kamu nggak pernah nyusahin. Kakak bangga punya kamu."

Sejak hari itu aku bertekad untuk membantu Kak Bulan. Bersama sahabatku, Lia, aku bekerja di sebuah kafe sepulang sekolah. Tapi kami sepakat, untuk tidak bilang pada kak Bulan.

Hari pertama bekerja, semuanya berjalan lancar, hingga aku bertemu tamu yang tak kuduga.

"Rara?" suara itu menghentikan langkahku. Kak Bulan berdiri di depanku, melihat seragam kafe yang kupakai.

Kuberanikan diri menariknya keluar dan menjelaskan. Tapi Kak Bulan justru membentakku, melarangku bekerja. Aku marah, dan kami bertengkar.

Namun malamnya, saat aku pulang dengan rasa bersalah, Kak Bulan membuka pintu dengan senyum hangat dan berkata, "Maaf ya, Kakak terlalu keras. Tapi satu hal, sepatu yang kamu pengen, Kakak yang beliin."

Hari itu ulang tahunku. Kak Bulan bilang ia akan pulang terlambat. Aku hanya tersenyum, lalu bekerja seperti biasa.

Sore hari, saat aku sampai rumah, berita mengejutkan muncul di televisi. Kebakaran besar terjadi di mal tempat Kak Bulan bekerja. Aku panik. Kutelpon berkali-kali, tapi tak diangkat. Dengan gemetar aku berlari ke lokasi itu

Semua terasa sakit. Aku hanya ingat tubuhku lemas ketika dua petugas membawa jenazah perempuan yang memeluk sesuatu. Itu Kak Bulan.

Tangisku pecah saat menyentuh tubuhnya. Tapi yang membuat air mataku jatuh makin deras adalah dalam pelukannya, sepasang sepatu. Sepatu yang kupinta, yang ia janjikan untuk kuberi di ulang tahunku.

"Kak, makasih… aku suka banget sepatunya," bisikku sambil memeluknya erat.

Hari pemakamannya, aku berdiri diam. Tak banyak yang bisa kukatakan. Tapi dalam hati, aku berjanji, aku akan kuat. Demi Kak Bulan

Dia bukan hanya kakakku. Dia pahlawanku



Postingan populer dari blog ini

Kesenian Randai Minangkabau

Berdamai dengan Kehilangan